Sabtu kemaren saya harus susaha payah memasuki kampus ITB karena kedua sisi jalan si seputar kampus (Jl Ganesha, Skanda, Ciung Wanara, dan Gelapnyawang) dipenuhi mobil-mobil peserta Ujian Seleksi Masuk (USM) ITB. Kebanyakan kendaraan tersebut memiliki nomor polisi B yang menandakan banyak peserta ujian berasal dari Jakarta dan sekitarnya. Tahun ini boleh dibilang peserta USM ITB melonjak tajam. USM ITB tidak hanya diadakan di Bandung, tetapi juga di beberapa daerah seperti Bogor, Surabaya, Pekanbaru, Balikpapan, dan lain-lain.
Melihat mobil-mobil mewah yang terparkir tersebut menunjukkan status sosial keluarga peserta ujian. USM ITB memang jalur seleksi di luar SPMB tetapi dengan “uang pangkal” yang lumayan mahal, minimal 45 juta (tahun ini diturunkan dengan variasi 15 juta, 30 juta, dan 45 juta). Ada yang mengatakan USM adalah untuk kalangan yang mampu, sedangkan SPMB untuk kalangan bawah (tetapi ini tidak berarti yang memilih jalur SPMB berasal dari kalangan kurang mampu, faktanya tidak semua peserta yang berasal dari kalangan mampu mengikuti USM).
Dari tahun ke tahun mahasiswa baru ITB memang berasal dari kalangan berada. Jalur USM saja misalnya memperebutkan 45% jatah kursi mahasiswa baru. Ini berarti minimal 45% mahasiwa baru ITB memang dari kalangan atas. Jika mobil dijadikan indikator status sosial mahasiswa, maka status sosial mahasiswa ITB tercermin pada hari-hari kuliah. Kita dapat melihat areal kampus ITB, baik lahan parkir di dalam kampus maupun lahan parkir di seputar kampus baik utara maupun selatan, dipenuhi mobil-mobil mahasiswa. Bahkan beberapa mahasiswa entah bagaimana caranya berhasil memperoleh stiker masuk kampus sehingga mereka bisa leluasa memarkir mobilnya di dalam kampus seperti halnya mobil dosennya (stiker parkir di dalam kampus hanya untuk dosen dan karyawan ITB saja, mahasiswa dan tamu tidak berhak memperoleh stiker ini. Hal ini dimaksudkan karena kampus ITB luasnya terbatas, selain itu agar areal di dalam kampus tidak penuh sesak dengan mobil). Pemandangan seperti ini agak berbeda dengan 15 atau 20 tahun lalu dimana lahan parkir tidak terisi mobil sebanyak ini (disamping itu memang jumlah mahasiswa yang diterima oleh ITB bertambah terus setiap tahun).
Tentu saja kita kita tidak akan membuat dikotomi mahasiswa kaya dan mahasiswa miskin. Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama kuliah di ITB, tidak peduli status sosialnya. Mahasiswa dari kalangan kurang mampu masih cukup banyak di ITB, namun dari tahun ke tahun jumlahnya makin berkurang. Hal ini disebabkan SPP di ITB semakin mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat miskin (sebenarnya SPP di ITB masih lebih kecil dibandingkan dengan SPP mahasiswa UI). Keberadaan jalur USM sebenarnya berdampak positif, sebab mahasiswa dari jalur USM mensubsidi mahasiswa yang tidak mampu. Tetapi di sisi lain kita melihat kesempatan calon mahasiswa kurang mampu untuk masuk ITB semakin lama semakin kecil bila porsi mahasiswa jalur USM semakin lama semakin besar. Meskipun saya tidak mempunyai data yang akurat, tetapi dari cara bergaul dan penampilan mahasiswa ITB saya dapat melihat bahwa mahasiswa yang kurang mampu saat ini sudah berkurang jumlahnya, khususnya di Informatika ITB tempat saya mengajar.
Secara umum mahasiswa yang diterima lewat jalur USM mempunyai kemampuan akademik yang setara dengan mahasiswa jalur SPMB. Sudah kaya, pintar lagi. Kehidupan mereka glamor dan suka bersenang-senang (ini tercermin dari blog mereka yang bercerita keseharian mereka mengunjungi tempat bilyar, arena bowling, makan di fast food, selalu nonton film bioskop terbaru, dll). Kebanyakan mereka berasal dari Jakarta yang gaya hidupnya sudah biasa denga kesenangan semacam itu.
Namun, mengajar mahasiswa dari kalangan “the haves” tidak selalu menyenangkan. Sebagian dari mereka (jadi, tidak semua), mempunyai semangat juang yang rendah dan cenderung manja. Mereka sering mengeluh jika diberi tugas yang berat, minimalis kalau mengerjakan tugas, malas melakukan eksplorasi, kurang menghargai orang lain, dan parahnya lagi berani menyontek dalam membuat tugas, baik nyontek dari temannya maupun nyontek dari internet. Generasi instan, begitulah tepatnya menyebut istilah untuk sebagian mahasiswa kaya ini. Ingin cepat lulus dan dapat nilai bagus, tapi malas berusaha.
Hal ini berbeda dengan mahasiswa yang pas-pasan secara ekonomi. Kelompok mahasiswa yang terakhir ini umumnya mempunyai daya juang yang tinggi karena terpacu dari keterbatasan ekonomi orangtua mereka yang menuntut mereka bersungguh-sungguh dalam kuliah. Keterbatasan yang ada membuat mereka kreatif dan mampu menunjukkan prestasi yang tidak kalah dengan mahasiswa yang kaya. Secara moral mereka juga baik, ini tampak dari cara mereka menghormati dosen, karyawan, dan teman-temannya.
Begitulah kondisi mahasiswa ITB saat ini. Apapun mereka, kami tetap memperlakukan sama untuk setiap mahasiswa. Tidak ada perbedaan perlakuan antara mahasiswa jalur USM dan jalur SPMB, antara mahasiswa yang mampu dan mahasiswa yang kurang mampu, dan sebagainya. Mampu atau tidak orangtua mereka itu masalah nasib dan kebetulan saja. Semua mereka harus mampu melewati fase kuliah di ITB yang berat dan melelahkan. Hanya mahasiswa yang bekerja keraslah yang dapat menyelesaika kuliah di sini, tidak peduli status sosialnya apa.

taken from : http://rinaldimunir.wordpress.com

3 comments

Tanpa Nama : 2:10 PG

Menarik!!! Aku setuju dengan apa yang ditulis, hal ini tlah mengubah pandangan Aku terhadap mahasiswa itb sekarang, sbg mahasiswa psikologi ya baru tk.1 Aku berharap ada yang mau peduli dengan perubahan proses mental mahasiswa itb yang instan... Perlukah itb mengadakan training emotional?!! Sukses selalu 'tuk Bapak Dosen...

Tanpa Nama : 2:47 PG

Awalnya Aku pikir mahasiswa itb sekarang sama dengan mahasiswa itb tahun orangtuaku, ternyata beda, ya! Jadi ga nyesel ga kuliah di itb, Soalnya jurusan psikologi yang aku masukin tahun ini pun dengan akreditasi A+, yang terbaik di Indonesia (Ini bukti klo swasta lbh berbobot), walaupun termahal dan lulus dengan kategori tersulit. Tapi jauh lebih baik ketimbang melihat orang-orang glamour, diantara teman yang kurang mampu. Sementara dikampusku Syukur semua berasal dari ekonomi menengah atas. meskipun aku dari keluarga medis yang lebih dari cukup, prasaan ngga perlu Show of juga kok!, mana empati buat yang kurang beruntung, mana rasa malu buat yang lebih mau kerja keras tapi ekonomi dibawah!. better bayar ratusan juta di swasta berkualitas daripada puluhan juta di negeri itb tapi instan!!!. Hidup terlalu berlebih buat kita jadi males, egois, angkuh, sombong sama teman ato dosen apalagi sekedar buat kasih senyum sama office boy/cleaning service (di kampusku itu jd kebiasaan sampe membudaya lho!) Saran aku, jangan karna mrasa mampu ekonomi, semua bisa dianggap gampang termasuk tugas kuliah. Syukuri nikmat atas kelulusan diterima di itb dengan proof intelektual tinggi! ratusan ribu orang diluar sana menangis karna ga bisa masuk itb (Salah satunya usm yang menurut mereka mahal!). Kita ga akan tau gmana sakitnya perasaan mereka tanpa kita mengalaminya, tapi kita ga mau mengalami itu, mengapa??

Tanpa Nama : 3:00 PG

Awalnya Aku pikir mahasiswa itb sekarang sama dengan mahasiswa itb tahun orangtuaku, ternyata beda, ya! Jadi ga nyesel ga kuliah di itb, Soalnya jurusan psikologi yang aku masukin tahun ini pun dengan akreditasi A+, yang terbaik di Indonesia (Ini bukti klo swasta lbh berbobot), walaupun termahal dan lulus dengan kategori tersulit (belum termasuk profesi pshycology). Tapi jauh lebih baik ketimbang melihat orang-orang glamour, diantara teman yang kurang mampu. Sementara dikampusku Syukur semua berasal dari ekonomi menengah atas. meskipun aku dari keluarga medis yang lebih dari cukup, prasaan ngga perlu Show of juga kok!, mana empati buat yang kurang beruntung, mana rasa malu buat yang lebih mau kerja keras tapi ekonomi dibawah!. better bayar ratusan juta di swasta berkualitas daripada puluhan juta di negeri itb tapi instan!!!. Hidup terlalu berlebih buat kita jadi males, egois, angkuh, sombong sama teman ato dosen apalagi sekedar buat kasih senyum sama office boy/cleaning service (di kampusku senyum sama mereka jd kebiasaan sampe membudaya lho!) Saran aku, jangan karna mrasa mampu ekonomi, semua bisa dianggap gampang termasuk tugas kuliah. Syukuri nikmat atas kelulusan diterima di itb dengan proof intelektual tinggi! ratusan ribu orang diluar sana menangis karna ga bisa masuk itb (Salah satunya usm yang menurut mereka mahal!). Kita ga akan tau gmana sakitnya perasaan mereka tanpa kita mengalaminya, tapi kita ga mau mengalami itu, mengapa???.. Finnaly I wanna say, Aku pengen smua bsa baca ini termasuk element itb terutama mahasiswa, no hard feeling, nothing judgment.. Aku cuma berharap kita bisa refleksi diri siapa kita sebenarnya?, apa yang kita cari?, dan akan kemana kita nantinya?. Bukankah itu yang dilakuin seorang psikolog, melakukan feedback.. Anyway buat semuanya, doain aku y! 7 taun lagi, atas izin Allah aku menjadi seorang Psikolog yang berguna. Amien...