Belajar gratis di luar negeri? Mengapa tidak. Syaratnya hanya tiga, rajin mencari informasi, bersungguh-sungguh dan piawai berbahasa Inggris. Meskipun, untuk soal bahasa ini juga tak mutlak. Pasalnya, ada sebagian beasiswa yang akan memberikan pendidikan bahasa Inggris gratis kepada para penerima beasiswa tersebut.
Namun, umumnya, kita mengalami kesulitan untuk memulai langkah pertama dalam menggapai beasiswa ke luar negeri itu. Padahal, caranya terbilang mudah. Anda tinggal membuka situs pencari, misalnya google atau yahoo dan ketik kata 'scholarship' maka, internet akan memberikan puluhan bahkan ratusan informasi mengenai hal tersebut. Lalu, mulailah pelayaran di dunia maya, untuk memperoleh informasi lebih detil.
Cara lainnya, datangi kantor perwakilan pendidikan dari negara-negara yang menyediakan beasiswa tersebut. Sebutlah Australia, yang secara rutin memberikan beasiswa bagi ratusan warga negara Indonesia melalui program Australian Development Scholarship (ADS) yang setiap tahun biasanya dibuka pada akhir Juni dan akan ditutup pada awal September. Jadi, bulan-bulan ini adalah bulan pendaftaran untuk program ADS.
Selain ADS, tahun ini, pemerintah Australia bekerja sama dengan pemerintah Indonesia juga membuka program Australian Partnership Scholarships (APS). Meskipun terlihat mirip, namun sesungguhnya ada perbedaan yang cukup signifikan antara ADS dan APS. ''Kalau ADS khusus untuk S-2 dan S-3, sedangkan APS, yang sudah S-2 di Indonesia, boleh mengambil S-2 lagi di Australia. Lalu, ADS terbuka untuk semua kalangan, sementara APS mensyaratkan pengalaman kerja,'' ujar Shendy Rhiza Achmadi, Branch Manager IDP Education Australia, Bandung.
Yang pasti, kata Shendy, program APS baru dibuka tahun ini, sementara ADS sudah ada sejak lama. ''Jadi, peluang untuk dapatkan APS lebih besar,'' katanya tersenyum. Perbedaan lain, sambung dia, jurusan yang boleh diambil. Untuk ADS, jurusan yang boleh diambil oleh kandidat lebih luas sementara APS hanya membatasi pada ekonomi dan pendidikan saja.
Persamaannya, biaya yang diberikan oleh ADS maupun APS meliputi semua biaya pendidikan, biaya hidup bahkan bagi yang sudah berkeluarga boleh mengajak keluarganya ke negeri Kangguru itu. Biaya pesawat pulang-pergi Indonesia-Australia juga ditanggung oleh lembaga pemberi beasiswa. Tak cuma itu, bagi para kandidat yang belum mencapai skor IELTS 6,5 (syarat untuk diterima di semua universitas di Australia) maka ada pendidikan bahasa Inggris gratis yang disediakan oleh ADS/APS, maksimal selama satu tahun.
Pendidikan bahasa Inggris gratis ini, juga diberikan oleh pemerintah Inggris melalui beasiswa Chevening Awards. Kalau Anda tahu sutradara Riri Reza (pembuat film Gie dan mantan presenter, Ira Koesno, mereka adalah sedikit dari orang Indonesia yang mendapatkan beasiswa ini. Salah satu yang disyaratkan dalam program ini adalah kandidat belum pernah menerima beasiswa ke luar negeri, sebelumnya. Hanya saja, menurut bagian Humas British Council, Ria, tahun ini beasiswa tersebut tidak ada karena sedang mengalami perubahan sistem. ''Diperbaiki, dan disesuaikan dengan kebutuhan yang riil,'' katanya menjawab pertanyaan Republika, belum lama ini. Untuk tahun 2006, kata dia, akan dibuka kembali. Biasanya, pembukaan pendaftaran sekitar awal tahun.
Bagi yang berminat mendapatkan beasiswa di universitas di Belanda, awal tahun juga harus bersiap. Pasalnya, Netherland Education Centre (NEC) Indonesia akan mengumumkan beasiswa tersebut di awal tahun. Jika program beasiswa ke Inggris dan Australia memberikan beasiswa sebelum mendaftar ke universitas, di Belanda justru sebaliknya. Para kandidat harus terdaftar dulu di universitas di Belanda, baru kemudian bisa mendaftar beasiswa.
Namun, jangan khawatir, umumnya pendaftaran ke universitas di Belanda, seperti juga ke beberapa universitas di beberapa negara, bisa melalui internet. Bagaimana dengan bahasa? Sebagian universitas di negeri kincir angini ini membuka program internasional, sehingga kuliah diberikan dalam Bahasa Inggris. Menurut Marliza Marsin, PR dan Marketing Manager NEC Indonesia, untuk beasiswa yang membiayai seluruh biaya pendidikan dan biaya hidup -- termasuk tiket pesawat Indonesia-Belanda pp -- ada dua jenis. Yaitu, Netherlands Fellowship Programme (NFP) dan Studeren in Nederland (StuNed). Perbedaannya, NFP adalah untuk kandidat dari seluruh dunia dan tanpa batas usia sedangkan Stuned khusus untuk kandidat dari Indonesia dengan usia maksimal 40 tahun (laki-laki) dan 45 tahun (perempuan).
Selain itu, ungkap Marliza, ada juga beasiswa yang hanya menutup sebagian biaya pendidikan. Yaitu, program Huygens dan DELTA. ''Beasiswa Huygens ini untuk fresh graduate tapi tidak lebih dari dua tahun setelah lulus, sedangkan DELTA untuk sarjana dengan usia tak lebih dari 35 tahun,'' ujarnya. Mengenai target khusus para penerima beasiswa ini, Marliza mengungkapkan, ada empat profesi yang diprioritaskan. Yaitu, para PNS, dosen di PTN dan PTS, staf LSM dan juga wartawan. ''Keempat kelompok ini memiliki keterkaitan yang erat dengan pembangunan,'' paparnya. Meski demikian, sambung perempuan berkerudung ini, peminat beasiswa di luar empat kelompok itu tetap memiliki peluang. Terutama, kata dia, mereka yang bekerja di instansi yang memiliki relevansi dengan pembangunan.
Hadiri pameran
Untuk tahun akademik 2006/2007, ungkap Marliza, pendaftaran mulai Januari-April 2006. Sedangkan pendaftaran ke universitas di Belanda, bisa dimulai sejak akhir tahun ini. ''Jadi, saat pendaftaran untuk beasiswa dibuka, tinggal apply saja,'' cetusnya. Guna memperkenalkan atau mengingatkan berbagai program beasiswa itu, selain menginformasikan di situsnya, para pemberi beasiswa ini juga melakukan roadshow ke berbagai kota di Indonesia pada jadwal yang ditentukan.
Umumnya, dalam roadshow itu, penyelenggara juga akan melibatkan berbagai universitas di negaranya masing-masing. Peluang beasiswa juga bisa diperoleh dari masing-masing universitas. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak dari lembaga internasional atau pemerintah negara yang bersangkutan, tapi beasiswa dari universitas ini juga cukup banyak dan umumnya menutup seluruh/sebagian biaya pendidikan. Jadi, lumayan juga.
Karena itu, informasi mengenai pameran pendidikan ke luar negeri, atau pameran pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga internasional, menjadi tempat yang tepat bagi para pemburu beasiswa ke luar negeri. Saat mencari informasi beasiswa ke luar negeri itu, ada baiknya para peminat menanyakan juga mengenai jenis pendidikan yang akan dibiayai. Pasalnya, tidak semua jurusan yang ada di universitas di luar negeri memperoleh beasiswa.
Seperti dikatakan Marliza, pemerintah Belanda memberikan beasiswa karena ingin membantu pembangunan di Indonesia. Begitu juga beasiswa ke Australia, Inggris dan Amerika untuk para kandidat dari Indonesia, umumnya diberikan untuk membantu pembangunan, demokrasi dan edukasi atau persoalan-persoalan yang terkait dengan anak dan perempuan.
Maka itu pula, umumnya para pemberi beasiswa itu akan mensyaratkan para penerima beasiswa harus kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studinya. Namun, di Singapura justru sebaliknya. Para penerima beasiswa dari pemerintah Singapura, diwajibkan bekerja untuk beberapa waktu di negara tersebut. Pertanyaan yang juga kerap muncul adalah, bisakah para mahasiswa ini bekerja di sela pelajarannya. Hal ini sangat tergantung dari jurusan yang diambil, kota tempat belajar hingga peluang pekerjaan yang ada. Secara umum, para mahasiswa diberi kesempatan bekerja sekitar 20 jam per minggu.
Namun, seperti dikatakan Novita, Education Counsellor IDP Bandung, biaya pendidikan dan biaya hidup di Australia berbeda-beda tergantung besar kecilnya kota. ''Tapi di kota besar seperti Sidney, kesempatan kerjanya juga lebih besar daripada di Adelaide, misalnya,'' ujarnya. Sedangkan menurut Dwiharini, Direktur International Education Centre (IEDUC) Bandung, yang pernah memperoleh beasiswa Chevening Awards, sebaiknya para mahasiswa memilih pekerjaan yang hanya menggunakan otot saja. Misalnya, sebagai penjaga toko. ''Bekerja saja yang menggunakan otot, kalau otak, gunakan untuk belajar,'' kata perempuan yang pernah tinggal enam tahun di London ini.
Harus dengan TOEFL atau IELTS?
Kemampuan berbahasa Inggris, adalah suatu yang mutlak untuk belajar atau bekerja di luar negeri. Berbagai universitas di luar negeri, umumnya meminta skor TOEFL internasional atau IELTS internasional sebelum para mahasiswa itu memulai kuliahnya. Lalu, apa beda TOEFL dan IELTS? Menurut Dwiharini, Direktur International Education Centre (IEDUC) Bandung, sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris, umumnya TOEFL diminta oleh universitas di Amerika Serikat dan beberapa negara lain. Sedangkan IELTS biasanya disyaratkan oleh universitas di Inggris, Australia, Canada dan beberapa universitas di AS.
Diungkapkan Dwi, demikian perempuan yang hobi menyanyi dan menari ini biasa disapa, TOEFL adalah singkatan dari Test of English as a Foreign Language dengan skor antara 301-677. Umumnya, universitas meminta skor minimal 550 untuk TOEFL. Khusus di Amerika, kata Dwi, universitas tak cuma meminta skor TOEFL tetapi juga skor GMAT (Graduate Management Admission Test) untuk program MBA dan GRE (Graduate Record Examination) untuk jurusan di luar MBA.
''Kalau mau ambil jurusan hukum, atau kesehatan dan kedokteran gigi, skor yang diminta selain TOEFL bukan GMAT atau GRE tapi LSAT, MCAT atau DAT,'' ujar ibu dua anak ini kepada Republika. LSAT adalah Law School Admission Test; MCAT singkatan dari Medical College Admission Test dan DAT adalah Dentistry Admission Test. Sedangkan IELTS, tutur perempuan berkaca mata ini, merupakan singkatan dari International English Language Test System dengan skor antara 1-9. Biasanya, skor minimal yang diminta oleh universitas adalah 6 atau 6.5 tergantung jurusan yang akan diambil.
Menurut Dwi, baik TOEFL maupun IELTS sama-sama mengetes kemampuan listening, reading dan writing seseorang. Bedanya, bentuk soal listening dan reading dalam TOEFL seluruhnya multiple choices alias pilihan berganda. Sedangkan listening dalam IELTS hanya 25 persen yang multiple choices, selebihnya adalah taking note atau mendengarkan pembicaraan pengajar dan harus dicatat.
Untuk tes writing TOEFL, ungkap Dwi, yang diteskan hanya analisis isu saja. Sementara writing dalam IELTS meliputi dua hal, analisis isu dan analisis grafik/gambar. ''Kemampuan analisis grafik ini sangat bermanfaat kelak jika mahasiswa belajar di luar negeri, baik di Inggris, Australia, Amerika atau di negara manapun,'' paparnya. Satu hal lagi yang membedakan, sambung Dwi, IELTS sudah meliputi tes speaking sedangkan untuk TOEFL, ada tes terpisah yang dinamakan Test of Speaking Examination (TSE). Biaya tes TOEFL internasional sekitar 140 dolar AS dan biaya TSE sekitar 40 dolar AS. Sementara biaya tes IELTS internasional adalah 130 dolar AS.
Khusus untuk TOEFL, Dwi menginformasikan bahwa mulai September 2005 mendatang, tes TOEFL internasional akan berubah. ''Skornya menjadi 0-120 dan ada speaking test. Hanya speaking-nya bukan dengan orang tapi dengan komputer,'' ujarnya. Ia belum mendapatkan informasi, mengenai biaya tes TOEFL 'next generation' internasional ini.
Bagi para calon mahasiswa di luar negeri, Dwi menyarankan, meskipun telah memiliki skor TOEFL internasional yang memadai, tetap mengambil kursus persiapan IELTS, khususnya writing. Ia juga menyarankan agar para kandidat mengambil kursus giving presentation. ''Karena belajar di luar negeri, membutuhkan keaktifan mahasiswa. Mahasiswa harus membuat paper, kemudian mempertahankan opini atau argumennya itu. Kalau tidak tahu triknya, bagaimana?'' ujarnya.
Dwi menambahkan, kandidat dengan skor IELTS yang memadai, umumnya lebih siap untuk belajar di luar negeri karena memang telah terbiasa dengan taking note dalam kursus persiapan. Mengenai lama persiapan bahasa Inggris bagi calon mahasiswa, ia berkata, ''Minimal, mereka mempersiapkan diri enam bulan sebelumnya.'' (rci) (bps)

1 comment

Artikel yang perlu dibaca oleh siapapun yang tahun ini merencanakan sekolah di Luar Negeri.

Syukur2 kalau gak perlu ke luar negeri, tetapi di dalam negeri saja dan dibiayai.

duh, mau pintar aja kok mahal ya...