Anak yang cerdas matematika merupakan aset untuk mengembangkan banyak hal dengan menyimpulkan sesuatu dari fakta-fakta yang dianalisanya.
Pada dasarnya setiap anak dianugerahi kecerdasan matematika Psikolog pendidikan dari Fakultas Psikologi UI, Gagan Hartana MPsi, mengatakan, kecerdasan matematika diartikan kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kebutuhan matematika sebagai solusinya. Misalnya, saat menanam kecambah kacang hijau, di hari pertama anak melihat kecambah tumbuh, anak dengan kecerdasan matematika akan menebak kecambah akan tumbuh lebih tinggi tanpa melihat kelanjutan pertumbuhannya. "Anak menghadapi problem yang dasar penyelesainnya membutuhkan kemampuan matematika dan mampu berpikir abstrak,"katanya.
Menurut Linda dan Bruce Campbell, penulis buku Teaching and Learning Through Multiple Intelligences, inteligensi logika matematika biasanya dikaitkan dengan otak yang melibatkan beberapa komponen, yaitu perhitungan secara matematis, berpikir logis, pemecahan masalah, pertimbangan induktif (penjabaran ilmiah dari umum ke khusus), pertimbangan deduktif (penjabaran ilmiah secara khusus ke umum), dan ketajaman pola-pola serta hubungan-hubungan. Intinya, anak bekerja dengan pola abstrak serta mampu berpikir logis dan argumentatif.
Anak dengan kemampuan ini akan senang berkutat dengan rumus dan pola-pola abstrak. Tapi tak hanya pada bilangan matematika, juga meningkat pada kegiatan yang bersifat analitis, dan konseptual. Hal ini ditegaskan Howard Gardner dalam bukunya Multiple Intelligences, The Theory in Practice, bahwa ada kaitan logika matematika dengan kecerdasan linguistik. Pada kemampuan matematika anak menganalisa atau menjabarkan alasan logis, serta kemampuan mengkonstruksi solusi dari persoalan yang timbul. Kecerdasan linguistik diperlukan untuk merunutkan dan menjabarkannya dalam bentuk bahasa.
Gardner memaparkan ciri anak cerdas matematika, pada usia balita, anak gemar bereksplorasi untuk memenuhi rasa ingin tahunya seperti menjelajah setiap sudut, mengamati benda-benda yang unik baginya. Selain itu, anak juga hobi mengutak-atik benda serta melakukan uji coba. Seperti, bagaimana jika kakiku masuk ke dalam ember penuh berisi air atau penasaran menyusun puzzle.
Wakil Presiden I Himpunan Matematika Indonesia, Abdur Rahman As’ari mengatakan, Number Sense bisa dimulai sejak anak masih dalam kandungan. Ketika sedang berhitung Anda bisa mengajak calon bayi berbicara atau berkomunikasi. Pada anak yang kecerdasannya tinggi bisa menyelesaikan persoalan matematika lebih cepat. Strategi memecahkan masalah soal matematika ialah dengan memberikan banyak stimulasi dan diwujudkan dalam keseharian, misalnya menghitung jumlah mobil sedan yang lewat selama 1 menit.
Ciptakan lingkungan matematika
Belajar matematika tak harus serius, namun bisa menyisipkannya dalam pengalaman sehari-hari. Berikan pemahaman konsep matematika seperti mengajarkan anak pemahaman kuantitas. Tanyakan padanya es krim A dengan B mana yang ukurannya lebih besar. Yang penting, papar Abdur, orangtua memberikan stimulasi yang memadai. Saat anak sudah bisa berkomunikasi, Anda bisa memasukkan informasi seperti pengenalan konsep perbandingan lebih besar, lebih kecil, dan sebagainya. Angka hanyalah simbol, sebaiknya anak memahami proses dibalik angka. "Dari magnitude inilah anak bisa mulai mengenal konsep angka, hal inilah yang terkadang sering diabaikan orangtua," ujarnya.
Ketika Anda mengenalkan dan menanyakan pada anak si A berlari lebih kencang dibanding B atau si B lebih tinggi dibandingkan A, atau tas a lebih berat dibanding tas b, sebenarnya Anda sudah mengajarkan pada anak konsep kecepatan, panjang dalam meter atau berat dalam kilogram. Dengan demikian, fungsi kecerdasan matematika sudah aktif. "Sejauh anak bisa memahami itu, orangtua bisa memberikan stimulasi yang lebih tinggi," katanya. Jika ingin memasukkan anak ke lembaga khusus matematika, coba tinjau kembali apakah kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.
Berikan penguatan jika pemahaman anak benar, sebaliknya luruskan pemahamannya yang menyimpang. Misalnya, ketika anak mengatakan kecambah akan tumbuh bertambah besar, artinya anak berpikir tak hanya tambah tinggi namun juga volumenya lebih besar, katakan ‘Ya kamu benar’ sebaliknya jika anak tak mampu menebak Anda bisa memancing dengan pertanyaan ‘apakah jadi lebih besar atau lebih tinggi?’. Ini salah satu bentuk orangtua mengevaluasi anak.
Gagan mengatakan, kecerdasan matematika bisa mengembangkan kecerdasan lainnya. ‘’Meski tidak berkaitan secara langsung, namun fungsinya bisa membantu anak menyelesaikan masalah menggunakan dimensi matematika,’’ katanya. Perkembangan kemampuan matematika melahirkan pemikiran sistematis pada anak.
Di usia sekolah, Gagan menambahkan, anak mampu melihat pola dari pertanyaan matematika yang disodorkan gurunya. Penemuan pola atau disebut juga rumus ini membuat anak mampu menyelesaikan soal matematika lebih cepat dibanding temannya yang lain. Anak yang cerdas matematika merupakan aset untuk mengembangkan banyak hal dalam kehidupan manusia yang membutuhkan keterampilan matematika. Anak lebih mudah menyimpulkan sesuatu dari fakta-fakta yang dianalisanya.
As’ari yang juga dosen jurusan matematika Universitas Negeri Malang menambahkan, secara kognitif anak mampu berasimilasi sehingga orangtua setidaknya memberikan pengajaran matematika yang dikaitkan dengan pengetahuan anak sebelumnya. Alhasil anak akan lebih mudah mencerna, misalnya pada anak usia 4 tahun, Anda mengajarkan penambahan ‘dua busway ditambah 2 busway jumlahnya berapa?’ jika anak belum pernah melihat busway sebelumnya maka akan sulit baginya untuk mencerna pertanyaan tersebut.
As’ari menganjurkan agar anak diajari konsep perpindahan dan perubahan saat berhitung. Pada soal penjumlahan, beri tempat untuk mempresentasikan benda-benda yang jumlahnya mewakili angka lalu tambahkan pula kalimat pertanyaan sehingga anak tahu bahwa angka tak hanya sebatas simbol saja. Misal, gambar buah apel berjumlah delapan dan sembilan sebelum penulisan angka. "Agar anak mahir matematika, tentu harus memahami konsep dan kelancaran prosedur seperti cara menambahkan atau mengurangi, yang memerlukan drill and practice, latihan-latihan yang mengaitkan konsep,"ujarnya pada sebuah seminar Adventures in Math yang digelar Yayasan Tara Salvia, April 2006 lalu.
As’ari mengatakan, syarat anak bisa dikatakan mahir matematika memiliki beberapa potensi dibawah ini,
Menguasai konsep matematika.
Kelancaran prosedur. Mengetahui dan memahami soal mana yang memerlukan penambahan, pembagian, pengalian atau pengurangan.
Kompeten.
Penalaran yang logis. Menyangkut kemampuan menjelaskan secara logika, sebab-akibatnya serta sistematis.
Positive disposition. Sikap bahwa matematika bermanfaat dalam penerapan kehidupannya.

Matematika menyenangkan atau menakutkan?
Menurut Principal Sekolah Tara Salvia, Angie Siti Anggari mengatakan, dalam setiap periode kehidupan manusia tak lepas dari matematika. "Tanpa disadari matematika menjadi bagian dalam kehidupan anak yang dibutuhkan kapan dan dimana saja sehingga menjadi hal yang penting,"ujarnya.
Angie mengamati umumnya anak menyukai matematika karena faktor pola pengajaran guru atau orangtua yang menyenangkan dan kreatif. Kebalikannya, anak tak suka matematika karena malas menghapal sehingga nilainya menjadi jelek kemudian timbul trauma pada matematika. Lalu apa yang harus dilakukan orang tua?
Perbanyak referensi buku-buku mengenai konsep matematika.
Luangkan waktu untuk mengajarkan dan melatih anak sendiri.
Buat permainan seru dengan mengundang beberapa temannya untuk berlomba hitung cepat dan semacamnya.
Kreatif dalam mengenalkan dan mengajarkan konsep matematika. Berikut beberapa cara yang bisa Anda praktekkan,
Saat mengajarkan bangun datar seperti segitiga, atau bujur sangkar minta anak mengamati pola dari beberapa bendera negara.
Saat mengajarkan sudut, manfaatkan benda-benda atau hal-hal disekeliling kita misalnya batang pohon, atap rumah, bingkai jendela, untuk mengenalkan beragam ukuran sudut.

Tips membentuk situasi belajar yang kondusif untuk anak
Lingkungan yang aman dan tidak mengancam anak
Reward dan punishment sebaiknya tidak digunakan dalam belajar.
Keduanya sukses digunakan untuk pembentukan kebiasaan namun bukan pada proses belajar.
Beri respon secepatnya saat anak tengah belajar matematika, orangtua tak hanya berkomentar ketika menilai hasilnya.
Jangan sampai membuat anak tertekan yang justru membuat anak menjadi sulit mencerna dan memahami matematika.
Hindari menerapkan sistem pembelajaran konsolidasi yang membuat anak belajar menyelesaikan soal dengan cepat dengan menggunakan satu metode penyelesaian saja sehingga kemampuan anak tidak bertambah luas.

Mary Vander Heijden, Principal dari Shell Elementary School, Brunei Darussalam dan perancang kurikulum nasional Qatar mengatakan, setiap kecerdasan dalam Multiple Intelligences dari Howard Gardner merupakan pintu masuk anak untuk mempelajari sesuatu.
Sumber: Majalah Inspiredkids